Di dalam sebuah hadits
qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku (Allah Ta’ala) di sisi
prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika dia berdoa kepada-Ku.” (Hr
Imam at-Tirmidzi Rahimahullah)
Oleh para Ustadz
Motivator, hadits agung ini disiarkan dengan makna yang salah kaprah. Dengan
kepercayaan diri yang meninggi, mereka berkata, “Pikirkan yang baik-baik.
Bayangkan semua yang kita inginkan. Bermimpilah sebanyak mungkin. Karena Allah
Ta’ala sesuai dengan prasangka kita.”
Tanpa malu-malu,
Ustadz Motivator itu melanjutkan, “Jadi, jika kita bermimpi mendapatkan 100
juta dalam sebulan, maka Allah Ta’ala akan sesuai dengan prasangka tersebut.
Sebaliknya, saat kita hanya berniat mendapatkan 10 juta sebulan, Allah Ta’ala
pun akan memberikan sebagaimana kita impikan.”
Padahal, maknanya
bukan demikian. “Agar kita tak memahaminya dengan, ‘Berprasangkalah sesuka
kita, Allah Ta’ala akan patuh pada kita untuk mewujudkan prasangka itu,’” tutur
Ustadz Salim A Fillah memungkasi, “Sungguh, ini (tafsiran yang) keliru.”
Jika demikian, apakah
tafsir yang lebih tepat? Apalagi, hadits ini terkait erat dengan pemahaman yang
tepat tentang tauhid sebagai sesuatu yang paling utama dalam keislaman kita.
“Siapa merasa dirinya
kotor dan meyakini Allah Ta’ala Mahasuci,” tulis ustadz muda yang murah senyum
ini, “niscaya Allah Ta’ala membersihkannya.”
Makna lainnya, masih
merujuk dari penjelasan penulis buku bestseller ini, “Siapa merasa dirinya
pendosa dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Pengampun, niscaya Allah Ta’ala memaafkannya.”
“Siapa merasa rendah
di hadapan Allah Ta’ala dan meyakini Dia Mahatinggi,” lanjut dai muda asal Kota
Gudeg ini, “maka Allah Ta’ala meluhurkannya.”
“Siapa merasa dirinya
hina dan meyakini Allah Ta’ala Mahamulia,” jelas salah satu penggagas dan
pengisi tetap Majlis Jejak Nabi ini, “niscaya Allah Ta’ala meluhurkannya.”
“Sapa merasa dirinya
(banyak) aib dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Sempurna,” ujar laki-laki
yang juga relawan utama Sahabat al-Aqsha dan Sahabat Suriah ini, “niscaya Allah
Ta’ala akan memperindahnya.”
“Siapa merasa dirinya
lemah dan meyakini Allah Ta’ala Mahakuat,” bimbing penulis Lapis-Lapis
Keberkahan ini, “niscaya Allah Ta’ala mengokohkannya.”
“Siapa merasa dirinya
bodoh dan meyakini bahwa Allah Maha Berilmu,” ajar pendakwah yang santun dalam
bertutur ini, “niscaya Allah Ta’ala mengajarinya.”
“Siapa merasa faqir di
hadapan Allah Ta’ala dan meyakini Dia Mahakaya,” pungkas salah satu pembimbing
umrah di Jejak Imani ini, “niscaya Allah Ta’ala mencukupinya.”
Demikian ini, menurut
beliau, sebagai pengingat bagi diri dan kaum Muslimin agar tidak mengecilkan
Allah Ta’ala dengan salahnya pemahaman. Agar kita memahami kekerdilan diri,
bukan membesarkan diri di hadapan Allah Ta’ala Yang Mahabesar.