Sabtu, 19 Maret 2016

Penafsiran yang kurang tepat



Di dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku (Allah Ta’ala) di sisi prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika dia berdoa kepada-Ku.” (Hr Imam at-Tirmidzi Rahimahullah)
Oleh para Ustadz Motivator, hadits agung ini disiarkan dengan makna yang salah kaprah. Dengan kepercayaan diri yang meninggi, mereka berkata, “Pikirkan yang baik-baik. Bayangkan semua yang kita inginkan. Bermimpilah sebanyak mungkin. Karena Allah Ta’ala sesuai dengan prasangka kita.”
Tanpa malu-malu, Ustadz Motivator itu melanjutkan, “Jadi, jika kita bermimpi mendapatkan 100 juta dalam sebulan, maka Allah Ta’ala akan sesuai dengan prasangka tersebut. Sebaliknya, saat kita hanya berniat mendapatkan 10 juta sebulan, Allah Ta’ala pun akan memberikan sebagaimana kita impikan.”
Padahal, maknanya bukan demikian. “Agar kita tak memahaminya dengan, ‘Berprasangkalah sesuka kita, Allah Ta’ala akan patuh pada kita untuk mewujudkan prasangka itu,’” tutur Ustadz Salim A Fillah memungkasi, “Sungguh, ini (tafsiran yang) keliru.”
Jika demikian, apakah tafsir yang lebih tepat? Apalagi, hadits ini terkait erat dengan pemahaman yang tepat tentang tauhid sebagai sesuatu yang paling utama dalam keislaman kita.
“Siapa merasa dirinya kotor dan meyakini Allah Ta’ala Mahasuci,” tulis ustadz muda yang murah senyum ini, “niscaya Allah Ta’ala membersihkannya.”
Makna lainnya, masih merujuk dari penjelasan penulis buku bestseller ini, “Siapa merasa dirinya pendosa dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Pengampun, niscaya Allah Ta’ala memaafkannya.”
“Siapa merasa rendah di hadapan Allah Ta’ala dan meyakini Dia Mahatinggi,” lanjut dai muda asal Kota Gudeg ini, “maka Allah Ta’ala meluhurkannya.”
“Siapa merasa dirinya hina dan meyakini Allah Ta’ala Mahamulia,” jelas salah satu penggagas dan pengisi tetap Majlis Jejak Nabi ini, “niscaya Allah Ta’ala meluhurkannya.”
“Sapa merasa dirinya (banyak) aib dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Sempurna,” ujar laki-laki yang juga relawan utama Sahabat al-Aqsha dan Sahabat Suriah ini, “niscaya Allah Ta’ala akan memperindahnya.”
“Siapa merasa dirinya lemah dan meyakini Allah Ta’ala Mahakuat,” bimbing penulis Lapis-Lapis Keberkahan ini, “niscaya Allah Ta’ala mengokohkannya.”
“Siapa merasa dirinya bodoh dan meyakini bahwa Allah Maha Berilmu,” ajar pendakwah yang santun dalam bertutur ini, “niscaya Allah Ta’ala mengajarinya.”
“Siapa merasa faqir di hadapan Allah Ta’ala dan meyakini Dia Mahakaya,” pungkas salah satu pembimbing umrah di Jejak Imani ini, “niscaya Allah Ta’ala mencukupinya.”
Demikian ini, menurut beliau, sebagai pengingat bagi diri dan kaum Muslimin agar tidak mengecilkan Allah Ta’ala dengan salahnya pemahaman. Agar kita memahami kekerdilan diri, bukan membesarkan diri di hadapan Allah Ta’ala Yang Mahabesar.

Tidak ada komentar: