Khalifah al-Manshur dari generasi ke-Khilafahan
Abasiyah pernah memerintahkan untuk menerjemahkan buku tentang astronomi yang
berasal dari India yang berjudul Sidhanta. Penerjemahnya adalah
al-Farabi (meninggal antara 796-806 M). Ia kemudian terkenal sebagai astronom
pertama di dalam sejarah Islam.
Sepeninggal al-Farabi, direktur yang membidangi ilmu
astronomi adalah al-Khawarizmi. Ia berhasil merumuskan perjalanan matahari dan
bumi serta menyusun jadwal terbitnya bintang-bintang tertentu. Pada masa
pemerintahan al-Makmun, al-Khawarizmi berhasil menemukan kenyataan tentang
miringnya zodiak (rasi/letak) bintang. Ia berhasil pula memecahkan perhitungan
sulit yang disebut dengan persamaan pangkat tiga (a qubic equation),
yang oleh Archimides pernah disinggung, tetapi tidak berhasil dipecahkan.
Penemuannya yang paling masyhur dan tetap digunakan dalam berbagai cabang ilmu
adalah ditemukan dan mulai digunakannya angka nol serta berhasil disusunnya
perhitungan desimal. Perlu diketahui bahwa bangsa Romawi, Yunani, maupun
berbagai peradaban sebelum Islam, penjumlahan maupun pengurangan, bahkan
lambang angka/bilangan belum mengenal angka nol.
Pakar-pakar astronomi yang pernah hidup pada masa itu,
antara lain, adalah Ahmad Nihawand; Habsi ibn Hasib (831 M); Yahya ibn Abi
Manshur (hidup antara 870-970 M); an-Nayruzi (922 M), pengulas buku Euclides
dan penulis beberapa buku tentang instrumen untuk mengukur jarak di udara dan
laut; al-Majriti (1029-1087 M), yang dikenal lewat bukunya, Ta‘dîl
al-Kawâkib; az-Zarqali (1029-1089 M), yang di Barat lebih dikenal sebagai
Arzachel; Nashiruddin at-Tusi (wafat 1274) yang membangun observatorium di kota
Maragha atas perintah Hulaghu.
Az-Zarqali berhasil membeberkan kepada dunia cara
menentukan waktu dengan mengukur tinggi matahari. Ia adalah orang pertama yang
membuktikan gerak apogee matahari dibandingkan dengan kedudukan
bintang-bintang. Menurut perhitungannya, gerak itu besarnya 12,04 derajat.
Bandingkan akurasinya dengan nilai sebenarnya yang diperoleh saat ini, yaitu
11,8 derajat.
Ibn Jaber al-Battani, yang dikenal orang Eropa sebagai
Al-Batanius (858-929 M), berhasil mengembangkan beberapa penyelidikan yang
pernah dilakukan oleh Ptolomeus. Ia memperbaiki perhitungan-perhitungan
mengenai waktu dan jarak tempuh bulan maupun beberapa planet. Ia juga
membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari setiap tahun.
Perhitungannya yang teliti tentang besarnya kemiringan ekliptika, panjang tahun
tropis, waktu dan jarak tempuh matahari diakui oleh pakar-pakar astronomi.
Pada masa Bani Fatimiyah berkuasa, pakar astronom
Muslim ternama, Ali ibn Yunus (meninggal tahun 1009 M) mempersembahkan sebuah
buku mengenai ilmu astronomi kepada negara berjudul Al-Zij al-Kâbir
al-Hâkimî. Manfaat buku ini diakui oleh para pakar astronomi sehingga
disalin ke bahasa Persia oleh ‘Umar Khayyam. Umar Khayyam sendiri berhasil
menyusun sistem penanggalan yang lebih teliti dibandingkan dengan penanggalan
Gregorian, karena penyimpangannya hanya satu hari dalam 5000 tahun, sedangkan
penanggalan Gregorian penyimpangannya satu hari dalam 3300 tahun). Buku Ali ibn
Yunus juga diterjemahkan ke dalam bahasa China oleh Co Cheon King (tahun 1280
M). Pada masa yang sama, al-Biruni (1048 M) memaparkan teorinya mengenai rotasi
bumi, perhitungan serta penentuan bujur dan lintang bumi dengan akurasi yang
amat teliti. (Ehsan Masood, 2009 : 95)